Pulang Demi Ibu (Membvngkam Mulut Ipar)
"Kita mampir ke ATM dulu ya, ambil u a ng, soalnya u a ngku habis."
Aku mengangguk.
"Aku tuh kalau ambil u a ng dikit-dikit aja, pas butuh gitu biar nggak dibilang pamer."
Aku kembali mengiyakan.
Dengan dia seperti ini apa itu bukan pamer. Pakai bilang kalau tiap Mas Robi gajian dia yang pegang semua, bahkan kadang sampai lupa berapa isi ATM, saking banyaknya.
"Aku tuh jarang ngecek ATM, kalau udah ambil ya udah. Jadi nggak tahu saldonya berapa sekarang. Ini sekalian mau ambil buat pegangan Mas Robi, kasihan dia udah lama nggak tak kasih u a ng."
Mbak Rini terus nyerocos sampai di depan ATM. Apalagi setelah dia keluar dari ATM dan sengaja pamer lembaran demi lembaran berwarna merah yang tak terhitung jumlahnya.
"Ini aku baru ambil 5 jvta, biasanya tuh aku ambil 10 jvta," cerocosnya lagi.
Aku kembali mengangguk dan mengiyakan. Terserah mau bilang apa, Mbak. Tapi lihat saja besok, masih bisa pamer apa nggak.
Sesampainya di rumah, seperti kemarin sore Mbak Rini beli klepon untuk Bapak. Kebetulan Bapak sedang duduk di teras. Beliau langsung menerima oleh-oleh dari Mbak Rini dengan segala pujiannya.
"Menantu baik ya begini, pulang kerja bawain makanan. Beda sih ya orang miskin sama orang punya u a ng. Kalau miskin kan buat makan sendiri aja pakai jval anak," cibirnya yang tentu tertuju padaku.
Aku hanya diam, tidak menyahut dan langsung pamit masuk ke dalam. Seperti sebelumnya, aku tidak boleh mandi di rumah ini dan lain sebagainya. Aku hanya diijinkan numpang tidur saja di sini.
Malam hari perutku lapar sekali, tak ada makanan dan snack apa pun di dalam tas karena sudah aku habiskan kemarin malam.
"Mas, aku laper," rintihku seraya memegangi perut.
"Roti udah habis?" tanya Mas Iyan.
Aku mengangguk lemas.
"Ya udah kita makan di luar, pinjam motor Mas Robi."
Mas Iyan bangkit dari duduknya dan bersiap untuk menemui Mas Robi ingin meminjam motor.
Aku baru sadar, kalau pasti bakal tidak diijinkan. Harus ada sogokan agar bisa pinjam walau hanya sebentar.
Gegas aku menyusul Mas Iyan yang sudah keluar terlebih dahulu. Mas Iyan tidak mengetuk pintu dan malah berdiri sambil nguping. Aku juga ikut karena penasaran.
"Kok cuma segini sih ambilnya, ini mana cukup buat bayar hvtang kita. Belum lagi tunggakkan bank daerah itu Rin, jatuh temponya kan besok. Kalau nggak bisa bayar, motor kita bakal disita sama mereka, Rin."
"Sabar dong, Mas, besok aku usahain," sahut Mbak Rini dan kini Mas Iyan beralih menatapku yang sama-sama nguping.
Mas Iyan menaikkan kedua alisnya seol bertanya, benarkah Mbak Rini sudah melakukan aksinya. Aku menjawab dengan anggukan. Aku hampir lupa jika Yuli sudah mengirim hasil rekaman tadi.
Tanganku ditarik Mas Iyan masuk kamar. Ia butuh penjelasan dari apa yang baru saja didengar.
"Kenapa nggak kamu jebak dia tadi?"
Pertanyaan yang sudah aku duga. Namun, di sini aku sudah memiliki rencana. Saat Mbak Rini menjalankan aksi kedua nanti, aku sudah bikin surprise untuknya.
Kemudian aku berbisik pada Mas Iyan. Pria itu mengangguk tanda setuju.
"Itu ide bagus, Nov. Aku setuju." Mas Iyan tersenyum serta mendukung ideku.
Perutku berbunyi, sepertinya para cacing sudah sangat kelaparan. Terpaksa aku dan Mas Iyan keluar jalan kaki ke angkringan.
Membeli makan untuk mengganjal perut hingga esok hari. Soalnya, tiap pagi ada yang jualan bubur dan aku bisa makan kenyang.
"Pak, mie kuah 2 sama jahe susunya dua ya," pesan Mas Iyan.
"Ok si ... kamu Iyan 'kan? Kapan pulang? Ya ampun, makasih ya kamu udah pekerjakan anakku di tempat kamu. Nggak nyangka kamu bakal balik ke sini lagi."
"Sama-sama, Pak, tapi Bapak jangan bilang-bilang kalau anak Bapak kerja di restoran saya."
"Siap Yan, itu bakal aman," jawab bapaknya. Semua orang sudah tahu bagaimana perlakuan bapak mertua dan yang lainnya terhadap kami yang tak pernah diterima baik oleh keluarga sendiri.
Usai makan dan saat kami akan bayar, bapak tersebut menolak uang dari kami. Kebetulan juga Bapak mertua datang untuk membeli susu jahe. Beliau salah tangkap, dikira kami makan secara cuma-cuma karena belas kasihan yang tidak bisa bayar makanan. Padahal, tukang angkringan menolak karena kami sudah menerima anaknya kerja.
"Aduh Yan, Yan, kalau nggak ada u a ng itu nggak usah jajan. Malu-maluin aja," cibir Bapak dan tukang angkringan hampir saja keceplosan. Untung saja Mas Iyan segera menyahut. Sebab, belum waktunya kami membuka hati diri sebelum membalas Mbak Rini yang sudah mencuri uang restoran.
"Kami pulang karena rindu dengan ibu, Pak. Bawa u a ng juga hanya sedikit, itu saja hasil nabung kami. Terus rumah dan tanah milik Novi sudah dijual, kami tidak tahu mau menginap di mana, sedangkan menginap di rumah Bapak, kami harus bayar. Sekarang kami nggak ada u a ng, jadi cari makan gratis," sahut Mas Iyan.
Mata Bapak melotot tak terima. "Yang bayar itu cuma Novi, kamu tidak bapak suruh bayar, Yan. Jangan bikin fitnah kamu!"
"Novi itu istri Iyan, Pak. Jadi, walaupun aku tidak disuruh bayar, tetapi aku dan Novi tidur satu kamar. Itu sama saja aku menginap di rumah Bapak ikut bayar."
"Ya ampun Pak, Pak. Sama mantu sendiri kok suruh bayar. Jadi orang mbok yo jangan keterlaluan, Pak. Nanti pas sakit Novi yang urus Bapak bakal nyesel loh," ucap tukang angkringan.
"Aku tidak akan sudi diurus sama orang miskin, Tar. Daripada aku diurus sama dia mending aku kesakitan," balas Bapak lalu pergi dan tak jadi beli susu jahe.
Tukang angkringan geleng-geleng melihat sifat Bapak, bahkan dia juga mengumpat pada Bapak.
"Nanti kemakan omongan sendiri baru kapok kamu, Pak Suradi."
"Besok kalau dia sakit nggak ada yang urus nggak usah diurusin Nov, biar kapok dia."
Aku tersenyum tipis.
Tak ingin lebih banyak membahas soal keburukan orang tua sendiri, Mas Iyan lebih memilih berpamitan. Perut kami juga sudah terisi. Tinggal pulang terus tidur. Besok persiapkan kejutan untuk Mbak Rini.
Bersiaplah, Mbak!
Bersambung .....
Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Pulang Demi Ibu (Membvngkam Mulut Ipar)
Penulis : Agung Ahmad S
Aplikasi : KBM
🥰🥰🥰