Di Saat Usahaku Bangkrut

Table of Contents

 

 

"Maaf, Mbak. Aku nggak punya ua-ng. Nih, bawa aja. Nggak usah diganti!" Wati menyodorkan satu ikat kangkung yang sebagian besar daunnya sudah menguning.


Dengan berat hati, aku menerimanya dan segera bangkit.


Aku sengaja datang ke rumah adik iparku itu untuk memin-jam ua-ng. Sebenarnya aku malu. Tapi mau bagaimana lagi, daripada anak-anakku tidak makan, lebih baik kubuang rasa malu itu jauh-jauh dan berusaha mencari pinjaman ke adik ipar yang selama ini telah aku bantu.


Namun, sayang. Yang kudapatkan malah seperti ini. Padahal, dulu saat aku membuka usaha, tak pernah sekalipun dia kuminta memb-ayar apa yang dia ambil dari tokoku. Dan ternyata, itulah yang membuat ekonomiku terpuruk. Terlalu baik pada keluarga suamiku. Sekarang di saat kami susah, satu pun tak ada yang mau membantu. Jangankan memberi secara cuma-cuma, memberikan hut-ang saja mereka tak percaya. Ternyata begini rasanya air susu dibalas dengan air tuba. Sakit sekali.


"Lain kali, kalau nggak punya u-ang kerja, Mbak! Bukan malah berhu-tang! Emang mau sampai kapan ngandelin keluarga?" celetuk Wati seraya masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya dengan kencang.


Ya, Tuhan, miris sekali rasanya hidup ini.


Tak ingatkah dia selama bertahun-tahun siapa yang membantunya mencukupi ekonomi keluarganya di saat sang suami menjadi pengangguran? Tidak ingatkah dia saat datang ke tokoku mengambil beras satu karung, minyak goreng, gula dan lain sebagainya tanpa ua-ng sepeserpun yang ia bawa sebagai alat pemba-yaran?


Tidak sekali dua kali, tapi dia sangat sering melakukan itu. Bahkan tokoku sudah seperti miliknya sendiri. Apapun yang dia perlukan, dia akan mengambilnya sesuka hatinya.


 Pada saat itu, aku tidak mempermasalahkannya karena aku menganggap dia adalah keluarga. Siapa tahu di saat aku susah, dia bisa membantuku. Tapi pada kenyataannya, semua tidak sesuai dengan yang kupikirkan selama ini. Dia tidak peduli pada kami meski saat ini suaminya sudah bekerja dengan posisi yang cukup bagus di perusahaan tempatnya bekerja.


Bukan hanya dia, tapi Mbak Indah, kakaknya suamiku dan Ferdi adik laki-laki suamiku juga sama. Tidak ada yang mau memin-jamkan ua-ngnya di saat kami sangat membutuhkan bantuan mereka.


Masih kuingat dengan jelas bagaimana ketusnya Ferdi saat aku datang ke rumahnya ingin memin-jam ua-ng untuk berobat Angga, anak lelakiku. Dengan suara tinggi serta ketus, dia mengatakan tak ada ua-ng. Padahal, dulu usahaku juga lah yang menghidupi keluarganya karena dia malas bekerja. Aku kasihan pada istri dan anaknya jika tak makan, jadi kubiarkan saja dia mengambil apapun di tokoku. Toh dia juga adik dari suamiku yang artinya adikku juga.


Saat ini, Ferdi telah bekerja di tambang emas bersama suami temanku. Aku lah yang memintanya untuk dimasukkan ke tempat yang sama seperti suami temanku itu. Baru satu setengah tahun ini dia bekerja dengan gaji yang lumayan besar. Sebelumnya, aku lah yang membantu ekonominya dan diba-ntu istrinya bekerja. Sementara dia, selama itu hanya di rumah menjaga anak.


"Dari mana kamu, Nita? Pasti habis dari pin-jam ua-ng ke Wati, ya?" tanya Mbak Indah saat aku melewati rumahnya yang tak jauh dari rumah Wati. Aku tersenyum seraya mengangguk.


Mbak indah menarik sudut bibirnya sinis. Lirikan matanya menandakan ia tak suka dengan apa yang aku lakukan.


"Kamu itu, jadi orang jangan suka mem-inta ban-tuan pada keluarga! Wati itu cuma istri. Yang mencari ua-ng suaminya. Kalau kamu terus-terusan datang mem-inta bantuan, bisa-bisa rumah tangganya berantakan gara-gara kamu! Tolonglah, Nit, jangan recokin rumah tangga adikku. Aku tau ekonomi keluarga kamu sekarang sulit, tapi usaha sendiri dong. Jangan ngandelin kami! Kamu masih sehat, masih bisa bekerja. Jadi pemba-ntu juga bisa. Mbok ya pergi sana cari kerja. Bukan malah nge-mis ke keluarga!" sungut Mbak Indah membuat hatiku semakin teriris.


Bukan aku tak mau berusaha dengan mencari pekerjaan. Aku sudah bekerja mencuci dan gosok baju tetangga. Tapi gaji yang mereka ber-ikan tidak bertahan lama. Karena aku hanya menerima cuci gosok tiga pintu. Jadi gajiku tidak menc-ukupi untuk keb-utuhan sehari-hari.


Aku juga sudah pontang-panting berusaha, tapi hasilnya tetap sama. Aku masih kesulitan untuk menc-ukupi kebutuhan.


Semenjak Mas Halim kecelakaan kerja, dia tidak lagi bisa mencari nafkah. Tulang kakinya patah. Dan saat ini dia masih dalam masa pemulihan.


Sejak saat itu pula, usaha yang kubangun dari hasil kerja keras kami berdua sebelum menikah mengalami kebangkrutan. Hasil yang selama ini aku tabung, ludes untuk berobat suamiku. Bahkan modal usaha juga habis, karena keluarga suamiku terus-terusan menggerogoti barang di toko kami. Dari mulai Ibu, adik, dan kakak, suamiku. Paman serta Bibi suamiku juga sama saja. Katanya hu-tang, tapi sampai hari ini, tidak ada yang memba-yarnya sama sekali.


Banyak juga para tetangga yang berhu-tang dan tidak mau memba-yarnya.  Saat aku datang men-agih, beribu alasan akan mereka katakan sampai aku muak sendiri.


"Baik, Mbak. Aku tidak akan lagi mengeluh ataupun mem-inta ban-tuan pada kalian. Karena kebanyakan orang, akan melupakan kebaikan orang lain saat mereka sedang membutuhkan ban-tuan."  Tanpa pamit, aku pergi begitu saja dari hadapan Mbak Indah. 


Malas banyak cerita dengan manusia seperti dia.


Cukup sampai di sini aku menge-mis ban-tuan dari keluarga suamiku. Kedepannya, aku tidak akan mem-inta ban-tuan mereka lagi.


***


LIMA BULAN KEMUDIAN ....


"Mau dibawa ke mana beras itu, Wat?" tanyaku saat adik dari suamiku itu membawa satu karung beras berukuran lima kilo tanpa mengatakan apapun padaku.


Dia nyelonong masuk, lalu membawa beras itu dan melewati meja kasir tanpa memba-yarnya.


Sudah satu Minggu sejak aku kembali membuka toko sembako, keluarga suamiku kembali sok akrab padaku. Kemarin, Ibu, adik, dan kakak Mas Halim datang berkunjung ke rumah kami. Mereka mengobrol panjang lebar dengan suamiku, sementara aku, malas meladeni mereka. Aku pura-pura kecapean Dan tidur di kamar.


 Dan hari ini, Wati datang ke tokoku yang letaknya sudah berbeda dari sebelumnya karena kami men-yewa tempat di dekat jalan besar.


"Di rumah beras habis, Mbak. Jadi, biasalah. Mau aku bawa pulang," jawab Wati enteng dengan tawa yang menurutku sama sekali tidak lucu.


"Karena itu beras kwalitas terbaik, kamu harus bay-ar seratus ribu dulu, kalau mau membawanya." Aku menyodorkan tangan pada Wati.


Adik iparku itu tampak kaget. Dia melotot tak suka padaku.


"Ya, ampun Mbak! Sama adik ipar sendiri kok perhit-ungan sih? Cuma beras ini!"


"Mau sama adik ipar, atau sama siapapun. Ya tetap harus bay-arlah. Emang kamu pikir toko ini punya nenek moyangmu? Aku juga beras itu be-li. Jadi kamu juga harus be-li dong. Ada ua-ng ada barang!" Aku sedikit meninggikan suara.


Wati tampak jengkel, dan tidak peduli dengan ucapanku.


"Rani! Ambil beras itu, dan bawa ke tempatnya lagi!" seruku pada pekerja di tokoku, menunjuk ke arah Wati.


Rani mengambil beras itu tanpa bertanya. Membuat Wati menghentakkan kakinya.


***

Judul : Di Saat Usahaku Bangkrut 

Penulis : Reg Eryn 

Username : widariwida